Maya berdiri di bawah pancuran air hangat kamar mandi hotel bintang empat yang baru mereka singgahi malam itu. Rambutnya yang setengah basah dan kerudung yang kini dilipat rapi di atas wastafel menunjukkan bahwa malam ini berbeda dari biasanya.
Suaminya, Iqbal, masuk pelan-pelan ke kamar mandi, membawa handuk dan senyuman nakal. “Boleh aku bantu bersihkan punggungmu?” bisiknya, mendekat dengan tatapan yang hanya dimiliki pria yang mengenal istrinya luar dalam.
Maya mengangguk pelan, dan ketika tangan suaminya menyentuh kulitnya, ia tahu bahwa pijatan malam ini bukan hanya tentang relaksasi. Suara air yang jatuh, uap yang memenuhi kaca, dan napas yang saling bertaut menjadi latar dari keintiman yang tak butuh banyak kata.
Dalam ruang sempit kamar mandi hotel itulah, cinta mereka meleleh dalam kehangatan—bukan sekadar gairah, tapi rasa memiliki dan saling memanjakan tanpa malu-malu.

Belum ada obrolan.