Janella Ooi tidak pernah menyangka bahwa malam yang penuh kepercayaan berubah menjadi mimpi buruk yang menelanjangi seluruh kehidupannya. Sebuah video pribadi yang seharusnya tersimpan rapat, tersebar begitu saja di dunia maya.
Pagi itu, notifikasi di ponselnya meledak. Pesan dari teman, kolega, hingga nomor asing membanjiri layar. Beberapa dengan empati, tapi sebagian besar penuh penghakiman. Ia merasa tubuhnya tidak hanya dilihat—tetapi dihancurkan, dinilai, dan dijadikan komoditas di dunia yang kejam.
Padahal, video itu dibuat dalam hubungan yang katanya cinta. Tapi kepercayaan, rupanya, lebih rapuh dari yang ia kira.
Janella mengurung diri berhari-hari. Ia berhenti membuka media sosial. Bahkan cermin pun mulai ia hindari. Namun di tengah keterpurukan itu, datang sebuah pesan: “Kamu bukan kesalahanmu. Mereka yang menyebarkan, merekalah pelaku kejahatan.”
Pesan itu berasal dari seorang penyintas yang pernah mengalami hal serupa. Dari sana, Janella mulai bangkit. Ia mencari bantuan hukum, bergabung dengan komunitas advokasi korban revenge porn, dan perlahan mulai memulihkan harga dirinya.
Hari ini, ia berdiri di sebuah forum digital, menceritakan kisahnya bukan sebagai korban, tapi sebagai penyintas. Ia tahu masa lalu tak bisa dihapus, tapi ia bisa memilih: apakah akan hidup dalam bayangan, atau menciptakan cahaya baru dari luka itu.
Dan Janella memilih cahaya.

Belum ada obrolan.