counter free hit invisible
Thu. Dec 4th, 2025

Dalam dunia digital yang serba cepat, tidak semua yang terlihat bisa dipercaya. Nama Giska Dyah Patricia, yang dikenal sebagai sosok cerdas dan berprestasi di media sosial, kini ikut terseret dalam pusaran manipulasi visual berbasis teknologi AI. Di berbagai platform, tersebar gambar-gambar dengan embel-embel “Not Giska Dyah Patricia” yang jelas dimanipulasi—menggunakan wajahnya untuk konten yang sama sekali tidak mencerminkan dirinya.

Fenomena deepfake AI telah melahirkan dunia ilusi baru. Teknologi ini dapat menciptakan gambar yang tampak realistis, namun sepenuhnya palsu. Dengan menggabungkan wajah orang terkenal ke dalam tubuh yang bukan miliknya, mesin menciptakan sesuatu yang terlihat nyata padahal sepenuhnya rekayasa.

Walau diberi label “Not”, tetap saja foto-foto itu mengambil identitas visual Giska—tanpa izin, tanpa kebenaran, dan tanpa mempertimbangkan dampaknya. Hanya karena sesuatu “bukan asli”, bukan berarti tidak berpengaruh.

Yang mengkhawatirkan adalah bagaimana publik mengonsumsinya: cepat percaya, cepat menyebar, dan seringkali tidak peduli apakah itu menyakiti seseorang. Rasa penasaran mengalahkan empati. Popularitas dijadikan alasan untuk melegitimasi pelanggaran ruang pribadi.

Kita sedang hidup di zaman di mana wajah bisa dicuri oleh algoritma. Di mana kemiripan dijadikan bahan hiburan, dan privasi menjadi kabur. Apa yang menimpa Giska bukan sekadar isu personal, tapi refleksi tentang bagaimana kita menyikapi batas antara realita dan rekayasa.

Saatnya bertanya: Apakah kita masih bisa membedakan mana yang nyata, dan mana yang sekadar fantasi digital yang tak bertanggung jawab?

Belum ada obrolan.