counter free hit invisible
Thu. Dec 4th, 2025

Bagian 1 – Rumah yang Sepi, Tamu yang Datang

Namaku Titin. Usia 32 tahun. Aku tinggal di Surabaya bersama suamiku, Bayu — seorang pelaut yang lebih sering berlayar ketimbang di rumah. Sudah hampir delapan tahun kami menikah, dan selama itu pula aku terbiasa hidup dalam kesunyian, menanti kepulangannya yang hanya datang beberapa bulan sekali.

Aku bukan wanita karier. Sehari-hari aku mengurus rumah, sesekali membantu usaha laundry kecil di gang belakang rumah. Kehidupan kami cukup. Tidak mewah, tapi berkecukupan. Rumah kami dua lantai, sederhana tapi nyaman. Mungkin karena terlalu sering sendiri, aku jadi lebih sensitif dengan suasana. Kadang malam terasa terlalu panjang, pagi terasa terlalu hening. Tapi aku menikmatinya. Atau… paling tidak, terbiasa.

Suatu siang yang cerah di awal bulan, Bayu menelepon lewat video call dari tengah laut. Wajahnya terlihat lelah tapi tetap menyunggingkan senyum hangat yang kurindukan.

“Tin… nanti Ardi mau tinggal di rumah sebentar ya, dia lagi cari kerja di Surabaya.”

Aku diam sejenak. Ardi? Adik satu-satunya, usianya 24 tahun. Sudah lama aku tak bertemu dengannya sejak wisuda. Dulu dia anak SMA yang suka bercanda dan agak pemalu. Tapi kini… pasti sudah jauh berbeda.

“Ya nggak apa-apa, Mas. Selama dia nyaman aja di sini.”

Malamnya, aku beres-beres kamar tamu di lantai bawah. Menyapu, mengganti sprei, menyusun handuk bersih. Semua kulakukan dengan hati-hati, mungkin karena sudah lama tak ada ‘penghuni’ baru di rumah ini. Ada rasa berbeda. Bukan cemas… tapi semacam rasa asing yang hangat.

Dua hari kemudian, Ardi datang. Ia tiba dengan satu ransel besar dan senyum kikuk di depan pintu.

“Permisi, Mbak Titin. Numpang tinggal dulu ya…”

Aku membalas dengan senyum ramah, tapi entah kenapa… ada sesuatu dari cara dia menatapku yang membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.

Bagian 2 – Hari-hari yang Biasa

Sudah hampir dua minggu Ardi tinggal di rumah.

Kehadirannya… ya, seperti angin lalu. Tenang, tidak banyak bicara, sopan. Setiap pagi dia sudah rapi sebelum pukul delapan, memakai kemeja dan celana panjang hitam, kadang membawa map plastik tipis, kadang hanya ponsel di tangan. Katanya, ia sibuk melamar pekerjaan — dari satu kantor ke kantor lain, dari interview ke interview.

“Doakan ya, Mbak… biar segera dapat kerja. Biar bisa kos sendiri, nggak ngerepotin di sini terus,” katanya suatu pagi sambil tersenyum canggung.

Aku hanya tertawa kecil dan mengangguk.

“Santai aja, rumah ini juga kosong kok. Kamu nggak ganggu siapa-siapa.”

Sebenarnya itu benar. Aku terbiasa sendiri. Bayu bahkan bilang aku lebih nyaman sendiri daripada kalau dia ada di rumah — bercanda, tentu saja, tapi kadang kurasa ada benarnya juga. Suara Ardi di pagi hari terasa seperti kehidupan baru. Ada bunyi langkah kaki, suara pintu terbuka, suara sendok bersentuhan dengan gelas saat dia membuat kopi sendiri. Hal-hal kecil yang membuat rumah ini terasa… hidup.

Aku sendiri tak banyak berubah. Rutinitas masih sama. Bangun pagi, menyiapkan sarapan, mencuci pakaian. Kadang kalau sedang ingin keluar, aku pergi ke warung belakang atau mengobrol di rumah Bu Rita — tetangga sebelah yang cerewet tapi baik hati. Beberapa sore aku ikut arisan kecil di kompleks. Tapi ada juga hari-hari saat aku hanya duduk di ruang tengah, membaca majalah lama, atau sekadar membuka-buka galeri HP.

Di malam hari, Ardi baru pulang. Kadang jam delapan, kadang lebih malam. Dia selalu pamit masuk kamar dengan sopan, dan jarang ada percakapan panjang. Makan malam sering kulemparkan sebagai pertanyaan ringan:

“Udah makan, Di?”

“Udah, Mbak. Makan sama teman tadi.”

Dan begitu saja. Rumah ini tetap sunyi. Tapi bukan sunyi yang menyedihkan. Hanya… kosong. Seperti menunggu sesuatu terjadi. Walau aku sendiri pun tak tahu… apa yang sebenarnya kutunggu.

Bagian 3 – Antara Mimpi dan Kenyataan

Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Rumah sepi. Hanya suara televisi di ruang tengah yang mengisi keheningan. Aku tiduran di sofa panjang, menyandarkan kepala di bantal kecil sambil memainkan remote.

Entah acara apa yang kutonton. Mungkin sinetron, mungkin iklan lama yang berulang-ulang muncul. Tapi pikiranku tidak sepenuhnya di sana. Sejak Ardi mengirim pesan siang tadi, bahwa ia akan pulang agak larut, aku merasa rumah benar-benar kembali seperti dulu — hanya aku dan sunyi.

Aku mengenakan daster pendek berwarna pastel. Lembut dan longgar. Sudah jadi kebiasaanku kalau di rumah sendiri begini, aku jarang memakai daleman. Apalagi kalau merasa tak akan ke mana-mana. Rasanya lebih bebas.

Biasanya kalau Ardi di rumah, aku sedikit lebih berhati-hati. Tapi belakangan ini, aku mulai merasa seperti dulu lagi. Toh, kami jarang bertemu, meski serumah. Dia berangkat pagi, pulang malam. Kadang tak terasa rumah ini dihuni dua orang.

Rasa kantuk datang perlahan. Mataku terasa berat, napasku melambat. Layar TV mulai buram di pandangan. Entah bagaimana, aku terlelap begitu saja di sofa.

Dalam kantukku yang setengah sadar, aku bermimpi. Mimpi yang tak jelas. Seperti ada suara… suara pintu dibuka perlahan. Suara langkah kaki menyelinap masuk. Mataku terbuka sedikit, samar… hanya bayangan seseorang di sudut ruangan. Tapi rasa kantuk lebih kuat dari segalanya. Aku tertelan dalam tidur lagi.

Entah berapa lama, hingga suara gaduh dari atap kanopi mengejutkanku — suara kucing berkelahi. Aku membuka mata perlahan. Tubuhku terasa hangat, tapi ada hembusan udara malam yang menyentuh kulit. Saat melihat ke bawah, aku terperanjat kecil. Dasterku tersingkap begitu tinggi. Hampir seluruh bagian bokongku terbuka.

Spontan aku menarik daster itu, menutupinya kembali sambil duduk. Jantungku berdetak pelan tapi terasa berdentam. Aku menatap sekeliling ruangan yang remang, lalu berdiri dan berjalan pelan ke arah lorong kamar.

“Ardi…?” panggilku setengah pelan, suara sedikit parau.

“Iya, Mbak…” jawabnya dari balik pintu kamarnya.

Aku terdiam sesaat. Tidak yakin kenapa aku bertanya. Tapi sesuatu dalam diriku ingin tahu… sejak kapan dia pulang? Apakah dia sempat melihatku…?

Aku mengangguk kecil meski tak ada yang melihat. Lalu kembali ke kamarku. Tidurku malam itu tidak tenang. Ada pertanyaan yang berputar di kepalaku.

Apakah dia tadi berdiri cukup dekat…?
Apakah dia sempat melihatku…?
Apakah dia hanya diam… atau…?

Pertanyaan itu tak sempat kujawab. Rasa kantuk kembali datang, tapi kini… tubuhku terasa sedikit berbeda. Hangat. Dan entah kenapa… geli.

Bagian 4 – Tatapan yang Tertahan

Pagi itu, udara Surabaya terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin karena hujan semalam. Aku keluar kamar setelah pipis, masih mengenakan daster yang sama dengan malam sebelumnya. Langkahku pelan, aroma kopi dari dapur sudah tercium samar. Saat sampai di ruang tengah, kulihat Ardi sedang membungkuk memasukkan sesuatu ke dalam ranselnya.

Seperti biasa. Rapi, cepat, dan… nyaris tak bersuara.

“Mau sarapan di rumah, Di?” tanyaku sambil mendekat, mencoba terdengar hangat.

Biasanya dia menjawab dengan santai. Tapi kali ini suaranya terdengar gugup.

“Ehh… mm… nggak, Mbak. Nanti aja, di luar.”

Aku sempat menatap wajahnya. Ada sesuatu yang berubah. Geraknya canggung. Tatapannya menghindar. Tangannya sedikit gemetar saat menutup resleting ransel. Aku bertanya lagi, pelan tapi langsung.

“Gimana kerjaannya? Sudah dapet?”

“Mmm… sudah, Mbak. Ini masih tahap training…” jawabnya cepat, lagi-lagi tanpa menatap.

Aku diam sejenak. Lalu berjalan ke dapur seperti biasa. Menyibukkan diri sebentar dengan cangkir-cangkir kotor dan piring bekas semalam. Tapi pikiranku tak lepas dari Ardi. Bukan karena curiga, tapi… penasaran.

Ada sesuatu yang terasa berbeda. Seperti rasa malu yang tidak biasa. Seperti seseorang yang telah berbuat kesalahan, tapi entah apa itu.

Aku pun mengambil handuk dan berkata ringan, “Ya udah, Mbak mandi dulu ya.”

Beberapa menit kemudian aku berendam di bathup, mencoba menenangkan pikiran. Tapi pikiran malah berlarian ke mana-mana. Kenapa Ardi tampak seperti itu? Tiba-tiba pikiranku flashback ke kejadian semalam. Apakah karena semalam? Apakah dia melihatku…? Melihat tubuh setengah telanjangku? Dasterku… posisi tidurku… pikiranku terus menggali, hingga muncul bayangan yang tak seharusnya ada.

“Apa yang dia pikirkan semalam? Apakah dia merasa bersalah…? Atau justru… menikmati…? Jangan-jangan…”

Aku menggeleng pelan, menepis pikiran itu. Tapi tubuhku terasa hangat.

Di tengah rasa galau tiba-tiba ponselku bergetar. Aku selalu membawa HP meskipun di kamar mandi. Suamiku menelepon. Seperti biasa. Suaranya ceria, menanyakan kabar. “Lagi ngapain Tin?” Tanyanya dari tempat yang jauh di sana, kujawab “Lagi mandi”. Tanpa butuh waktu lama, dari suara biasa, pembicaraan pun berpindah jadi panggilan video. Ini bukan pertama kali, bahkan kami sering video call dalam momen apapun.

Dalam kesepian panjang, kami terbiasa mencari pengganti. Memuaskan hasrat nafsu masing-masing. Kadang lewat kata, kadang lewat layar. Sebuah ritual pribadi untuk menjaga apa yang seharusnya dijaga. Ia melihatku saat jari-jariku menikmati memek basah, akupun menikmati saat melihat jari-jari tangan suamiku mengocok indah batang kontolnya yang kekar.

“Ahhh sayang, kamu nungging donk, pingin liat dari belakang,” kata suamiku, akupun menurutinya. Aku tau pantatku adalah daya tarik tersendiri baginya. Apalagi saat jari-jariku bergerak nakal, terkadang menyentuh lubang anus.

“Ahhhh, ahhh,” Desahan kami terus keluar, makin lama makin cepat, tak terasa dari 1 jari, 2 jari hingga 3 jari masuk ke dalam lubang memekku yang sudah basah, “Ohhh yesss, sayaaang, aku keluaarr,” aku meracau saat tiba-tiba hampir mencapai klimaks. Kulihat di layar HP saat suamiku mempercepat kocokannya.

“Ahhhh aku jugaaa,” kata suamiku, tubuh tegang, cairan sperma muncrat, ia telah mencapai klimaks, begitu juga dengan diriku. Beberapa menit kemudian, segalanya selesai. Obrolan ringan menutup panggilan itu, diselingi satu dua tanya soal Ardi, yang kujawab sekenanya.

Namun saat aku meletakkan ponsel dan menatap langit-langit kamar mandi, aku justru merasa hampa. Aku tersenyum kecil, tapi senyum itu tak sampai ke dada.

“Kenapa aku… seperti ini?”

Aku merindukan kontol secara langsung, kontol yang menyerang masuk ke dalam memekku. Aku merindukan kehangatan yang nyata, sentuhan dari lelaki yaitu suamiku sendiri. “Ahhhh,” tiba-tiba aku memejamkan mata.

Dan tiba-tiba, bayangan Ardi muncul. Bukan sebagai adik ipar. Tapi sebagai pria. Muda. Sehat. Dekat.

Aku menutup mata.

“Ohh shit…” gumamku pelan, kecewa pada diriku sendiri.

Aku coba menepis semuanya.

Tapi… ada yang sudah terlanjur retak di dalam.

Bagian 5 – Obrolan yang Membuka Celah

Sore itu Ardi pulang lebih cepat dari biasanya. Masuk rumah sekitar jam delapan malam, masih mengenakan kemeja kerjanya yang sedikit kusut. Aku yang sedang duduk di ruang tengah sontak menoleh dan tersenyum kecil tanpa sadar.

“Kok cepat, Di?”

“Training-nya cuma setengah hari, Mbak.”

Biasanya aku hanya mengangguk dan kembali sibuk dengan pikiranku sendiri. Tapi entah kenapa malam itu rasanya berbeda. Kehadirannya terasa… hangat. Seperti sesuatu yang kutunggu, padahal ini bukan pertama kalinya dia pulang lebih awal. Tapi malam itu… aku ingin lebih banyak bicara.

“Kopi? Atau teh?”

“Teh aja, Mbak. Manis.”

Kami duduk di ruang tengah. Obrolan mengalir pelan seperti sungai kecil—tentang kerjaannya, suasana kantor, dan rekan-rekan barunya. Tapi kemudian aku mulai masuk ke ranah yang lebih pribadi. Entah kenapa, bibirku begitu ringan menanyakan hal-hal yang biasanya tabu di antara kakak ipar dan adik ipar.

“Pacar kamu masih yang dulu?”

“Masih, Mbak. Tapi LDR, dia kerja di Kalimantan.”

Aku tersenyum. “Wah, kita sama donk… LDR-an juga.”

Ardi tertawa kecil. Untuk pertama kalinya sejak tinggal di rumah ini, aku merasa melihat sisi lain dari dirinya—bukan hanya sebagai adik suamiku, tapi sebagai pria muda yang hidup dengan harapannya sendiri.

Pesanan martabak manis datang. Aku membuka bungkusnya, aroma manis mentega dan cokelat langsung mengisi ruang. Kami duduk lebih dekat. Piring kecil, tisu seadanya. Obrolan makin ngalor ngidul. Dari kantor, ke kuliah, ke mantan, lalu pelan-pelan ke arah yang lebih… panas.

“Ah, daripada Mbak… punya suami tapi udah lupa rasanya…” ujar Ardi setengah bercanda, matanya melirik ke arahku.

Aku tersenyum menahan tawa. “Ehh, siapa bilang udah lupa?”

“Emang… gimana caranya, Kak?” tanyanya, kini lebih berani menatapku lurus.

Aku sengaja menahan napas sejenak, lalu menjawab dengan senyum penuh arti. “Ada teknologi yang namanya… video call.”

“Ohhh… jadi VCS yaaa…” katanya dengan gaya menggoda.

Aku tertawa, memukul kecil lengannya. “Ihh, kayak nggak pernah aja kamu!”

Tawa kami meledak bersamaan. Suasana yang tadinya biasa, kini menjadi akrab. Hangat. Terlalu hangat mungkin. Aku baru sadar kalau sejak tadi aku hanya memakai daster tipis, tanpa daleman, dan entah kenapa… aku tidak merasa risih. Mungkin karena sudah terlalu nyaman. Mungkin… karena aku ingin dia melihat.

Obrolan terus berlanjut. Ada jeda, ada lirikan, ada isyarat yang tidak diucapkan. Seperti dua orang yang sedang bermain api, tapi berpura-pura tidak sadar bahwa api itu makin membesar.

Jam di dinding menunjukkan pukul satu dini hari.

“Wah… besok saya kerja pagi, Mbak…” kata Ardi sambil bangkit berdiri, mengusap lehernya yang terasa kaku.

“Iya, istirahat sana. Makasih udah nemenin ngobrol.” kataku pelan.

Aku masuk kamar. Menatap langit-langit. Terdiam.

Tiba-tiba percakapan kami tadi terputar ulang di kepalaku. Tatapan mata. Senyum nakal. Kata-kata yang menyentuh batas.

“Ohh tidak… kenapa aku begini?”

Kupeluk bantal erat-erat, mencoba menepis pikiran mesum yang datang diam-diam.

“Dia adik iparku… dia adik iparku…” bisikku pada diri sendiri.

Tapi suara dalam hati itu tak cukup kuat menutupi satu hal: malam ini, untuk pertama kalinya, aku merasa hidup.

Dan… berbahaya.

Bersambung ke Eps. 2

Obrolan Pengunjung